BATIK SALEM DAN REBANA KALIWADAS BUMIAYU
Pasar Lokal Batik Masih Bergairah
Selasa, 25 November 2008 | 01:34 WIB
Pekalongan, Kompas - Pengusaha batik dan kerajinan di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, yang berorientasi pada pasar lokal tidak mengalami dampak buruk akibat krisis finansial global. Pengusaha masih bergairah menggarap pasar lokal.
Freddy Wijaya (53), pengusaha batik asal Pekalongan, Senin (24/11), mengatakan, penjualan batiknya tidak menurun ketika krisis mendera pasar global. Saat ini pasar lokal kian menjanjikan jika digarap secara konsisten.
Dari usahanya, Freddy memperoleh omzet rata-rata Rp 50 juta per hari, dari sekitar 500 potong busana batik yang dijual. Produksi batik yang terbuat dari sutra dan katun itu dipasarkan ke Bali, Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan Makassar.
”Munculnya krisis global tidak membuat penjualan saya menurun. Bahkan pasca-Lebaran lalu, permintaan pasar naik hingga empat kali lipat,” ucap pemilik gerai batik Feno yang tersebar di Pekalongan dan Jakarta ini.
Penyebab tingginya pesanan, lanjut Freddy, adalah merebaknya tren batik, baik di kalangan artis dan di lingkungan instansi pemerintahan.
Uswatunah (23), pegawai di gerai batik Wali Songo, Pekalongan, mengatakan, omzetnya stabil. ”Omzet rata-rata Rp 1 juta per hari, tetapi kalau akhir pekan bisa Rp 3 juta,” kata Uswatun yang dagangannya diminati pembeli dari Bandung, Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, dan Madura.
Omzet meningkat
Warwin Sunardi (53), pengusaha batik asal Kecamatan Salem, Brebes, menyebutkan pula, usahanya tidak terpengaruh krisis global. Bahkan, sebulan ini omzetnya meningkat. ”Sebelumnya Rp 25 juta per bulan. Sebulan ini menjadi Rp 30 juta,” ujarnya.
Menurut Warwin, tren busana batik yang dikenakan pegawai pemerintah dan swasta menjadi pemicu banjirnya pesanan batiknya. ”Biasanya dari kalangan pegawai negeri sipil memesan batik dengan desain khusus,” katanya.
Ketua Paguyuban Pencinta Batik Indonesia Bokor Kencono, Diah Wijaya Dewi, mengatakan, untuk mempertahankan pasar lokal bagi pembatik, pemerintah perlu membatasi serbuan batik impor dari China.
Sementara itu, perajin alat musik rebana dan drum di Desa Kaliwadas, Kecamatan Bumiayu, Brebes, juga bertahan di tengah terpaan krisis global. Hamzah Fansuri (30), perajin, menuturkan, pesanan untuk rebana meningkat dari 60 set pada September menjadi 100 set pada Oktober lalu. Rebana tersebut dijual Rp 225.000-Rp 350.00 per set dan dipasarkan ke Palembang, Medan, dan Jakarta.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jateng Banudojo Hastjarjo mengatakan, agar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tetap bertahan dalam krisis global, pihaknya mengadakan pelatihan untuk mendorong diversifikasi produk dan memfasilitasi diversifikasi pasar ke daerah atau negara yang tidak terdampak krisis.
”Bagi yang biasa mengekspor ke Amerika Serikat dapat mengalihkan ke Uni Emirat Arab misalnya,” ucap Banudojo
0 komentar:
Post a Comment